Rabu, 12 Januari 2011

Sejarah Matematika Neeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee

Sejarah Peluang dan Statistika

Teori peluang menyangkut dengan cara menentukan hubungan antara sejumlah kejadian khusus dengan jumlah kejadian sebarang. Misalnya pada kasus pelemparan uang sebanyak seratus kali, berapa kali akan munculnya gambar.
Teori peluang awalnya diinspirasi oleh masalah perjudian. Awalnya dilakukan oleh matematikawan dan fisikawan Itali yang bernama Girolamo Cardano (1501-1576). Cardano lahir pada tanggal 24 September 1501. Cardano merupakan seorang penjudi pada waktu itu. Walaupun judi berpengaruh buruk terhadap keluarganya, namun judi juga memacunya untuk mempelajari peluang. Dalam bukunya yang berjudul Liber de Ludo Aleae (Book on Games of Changes) pada tahun 1565,  Cardano banyak membahas konsep dasar dari peluang yang berisi tentang masalah perjudian. Sayangnya tidak pernah dipublikasikan sampai 1663. Girolamo merupakan salah seorang dari bapak probability. Di bukunya Cardano menulis tentang permasalahan peluang, yaitu:
Jika 3 buah dadu dilempar bersamaan sebanyak 3 kali, berapa peluang untuk mendapatkan mata dadu minimal 1,1 pada setiap lemparan.
Jika 2 buah dadu dilempar bersamaan sebanyak 3 kali, berapa peluang untuk mendapatkan mata dadu 1,1 paling sedikit dua kali.

Pada tahun 1654, seorang penjudi lainnya yang bernama Chevalier de Mere menemukan sistem perjudian. Ketika Chevalier kalah dalam berjudi dia meminta temannya Blaise Pascal (1623-1662) untuk menganalisis sistim perjudiannya. Pascal menemukan bahwa sistem yang dipunyai oleh Chevalier akan mengakibatkan peluang dia kalah 51 %. Pascal kemudian menjadi tertarik dengan peluang, dan mulailah dia mempelajari masalah perjudian. Dia mendiskusikannya dengan matematikawan terkenal yang lain yaitu Pierre de Fermat (1601-1665). Mereka berdiskusi pada tahun 1654 antara bulan Juni dan Oktober melalui 7 buah surat yang ditulis oleh Blaise Pascal dan Pierre de Fermat yang membentuk asal kejadian dari konsep peluang.
Blaisé Pascal bekerjasama dengan Fermat menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh Chevalier de Mere, diantaranya:
Ø Berapa kali kita harus melemparkan dua buah dadu, sehingga minimal separuh  mata dadu yang muncul keduanya angka 6.
Ø Dalam permainan dadu, dadu dilempar sebanyak 8 kali, permainan berakhir bila seorang gagal mendapat  mata dadu 1 sebanyak tiga kali.
Ø Probleme des partis (Problem of Point)
Dua pemain judi P1 dan P2 sepakat untuk bermain “fair games” sampai salah satu dari mereka menang dengan nilai tertentu dari N kali permainan. Permainannya tiba-tiba dihentikan. P1 menang N1 kali permainan dan P2 menang N2 permainan. Bagaimana seharusnya membagi taruhannya?
Pada awalnya Pascal mempunyai rencana untuk menulis karya tentang problema of point ini atau yang disebut aleae geometría tetapi tidak pernah menulisnya,
Ø Dua orang melempar sebuah mata uang logam secara bergantian, setiap muncul muka orang pertama akan memperoleh 1 point, bila yang muncul adalah belakang maka pemain kedua yang mendapat 1 point. Jika orang pertama sudah mendapat 100 point maka orang tersebut akan mendapat uang $1000.
Bila pemain pertama mempunyai 100-m point,dan pemain kedua mempunyai 100- n point , berapa peluang pemain pertama akan menang
Di awal tahun 1656, Christiaan Huygens menulis naskah Van Rekeningh in Spelen van Geluck Van Rekeningh in Spelen van Geluck adalah risalat singkat terdiri dari 15 halaman, yang kemungkinan didasarkan atas apa yang dilihat Huygen selama dia menetap di paris pada tahun-tahun sebelumnya tentang surat menyurat antara Pascal dan Fermat. Pada bentuk akhirnya, tulisan ini memuat 14 masalah (Voorstellen) dengan solusi atau buktinya dan 5 masalah yang harus diselesaikan oleh pembaca. Lima masalah terakhir adalah sebagian dari masalah Fermat dan Pascal. Masalah terakhir dari kelima masalah tersebut pada akhirnya dikenal sebagai “Gambler’s ruin” dan bagian-bagian dari surat menyurat Pascal dan Fermat yang di terbitkan pada tahun 1656.
Pada tahun 1709 Jaques (Jacob) Bernoulli menulis buku Ars Conjectandi, yang terdiri 5 bagian, yaitu:
1. Menulis lagi Liber de Ludo Aleae (Book on Games of Chance) karya Cardano
2. Permutasi dan Kombinasi
3. Distribusi Binomial dan Multinomial
4. Teori Peluang
5. Law Large Number (Hukum Bilangan Besar)
Jaques (Jacob) Bernoulli adalah orang yang pertama mengenalkan hukum bilangan besar (LLN). Dia mengerjakan dan mengembangkannya selama lebih dari 20 tahun, dan mempublikasikannya pada Ars Conjectandi (The Art of Conjecturing) pada tahun 1713. Dia menamakannya dengan teorema keemasan yang kemudian lebih dikenal dengan teorema Bernoulli. S.D Poisson menamakannya dengan La loi des Grand Nomber (The law Large Number). Setelah Bernoulli dan Poisson mempublikasikan LLN, maka matematikawan lainnya yang mengembangkan LLN adalah Chebysev, Markov, Borel, Cantelli dan Kolmogorov. Mereka menghasilkan apa yang kita kenal dengan Weak law Large Number dan Strong Large Number.
Law Large Number (LLN)
Hukum bilangan besar (LLN) adalah teorema pada peluang yang menggambarkan stabilitas yang lama dari suatu variable random. Jika kita diberikan suatu sample random dari variable random yang identik dan independent (iid) dengan mean dan variannya finite, maka rata-rata sample akan mendekati rata-rata populasi.
Misalnya ketika kita melempar mata uang logam, maka frekuensi munculnya angka atau gambar akan mendekati 50 %, perbedaan frekuensi munculnya angka atau gambar tidak besar, contohnya kita akan mendapat munculnya angka sebanyak 520 kali dalam 1000 lemparan, dan 5096 kali dalam 10000 kali lemparan.
Kemudian pada tahun 1711, Abraham de Moivre yang lahir di French Hugesenot pada tanggal 26 Mei 1667, dan wafat di London 27 November 1754 , menerbitkan buku yang berjudul Doctrine of Chances, yang diantaranya memuat Ars Conjectandi. Selain memuat Ars Conjectandi, buku ini juga memuat mengenai teori dari permutasi dan kombinasi yang berpangkal dari probabilitas, contohnya:
Diketahui dari huruf-huruf a,b,c,d,e,f diambil dua huruf, maka peluang terambilnya huruf pertama adalah 1/6, peluang terambilnya huruf kedua adalah 1/5. Jadi peluang terambilnya dua huruf tersebut adalah (1/6)(1/5) = 1/30.
Selain itu karya de Moivre adalah teorema limit pusat dan distribusi normal. Abraham de Moivre adalah orang yang pertama memperkenalkan distribusi normal pada tahun 1737, kemudian ditulis ulang pada tahun 1738 dengan judul The Doctrine of Chances, yang membahas pendekatan distribusi binomial untuk n yang besar. Hasil ini diperluas oleh Laplace dalam buku Analytical Theory of Probabiliteis pada tahun 1812, yang sekarang dikenal dengan teorema De Moivre-Laplace. Laplace menggunakan distribusi normal untuk menganalisis percobaannya. Karena grafik probalitasnya mirip lonceng maka Jouffret pada tahun 1872 memberi nama kurva lonceng (bell curve) .Nama distribusi normal diberikan oleh S.Pierce, Francis Galton dan Wilhelm Lexis pada tahun 1875.
Sejarah dari teorema limit pusat adalah sangat menarik, teorema ini dirumuskan pertama kali oleh Abraham de Moivre pada tahun 1733. Moivre menggunakan distribusi normal untuk memperkirakan banyaknya muncul muka (head) pada pelantunan mata uang. Penemuan ini hampir terlupakan, sebelum akhirnya matematikawan Perancis yang bernama Pierre Simon Laplace mengenalkannya dalam tulisan Theorie Analytique des Probabilities, yang dipublikasikan pada tahun1812. Laplace memperkirakan distribusi dari orbit komet dengan distribusi binomial. Pada abad ke 19 teorema limit pusat dirumuskan secara umum dan dibuktikan oleh matematikawan Rusia yang bernama Aleksander Lyapunov.
Berbeda dengan sejarah peluang yang berawal dari sebuah perjudian, statistika berawal dari kegiatan pengumpulan data yang dilakukan oleh John Graunt di Eropa pada tahun 1662, hal ini merupakan awal munculnya statistika deskriptif. Penggunaan istilah statistika berakar dari istilah- istilah dalam bahasa latin modern statisticum collegium (dewan negara) dan bahasa Italia statista (negarawan atau politikus). Pada tahun 1749 Gottfried Achenwall menggunakan Statistika dalam bahasa Jerman untuk pertama kalinya sebagai nama bagi kegiatan analisis data kenegaraan, dengan mengartikannya sebagai ilmu tentang Negara (state). Pada awal abad ke-19 telah terjadi pergeseran arti menjadi “ilmu mengenai pengumpulan dan klasifikasi data“. Nama dan pengertian statistik pertama kali diperkenalkan dalam bahasa Inggris oleh Sir John Sinclair . Jadi statistika secara prinsip mula-mula hanya mengurus data yang dipakai lembaga-lembaga administrasif dan pemerintahan. Pengumpulan data terus berlanjut, khususnya melalui sensus yang dilakukan secara teratur untuk memberi informasi kependudukan yang berubah setiap saat.
Pada tahun yang sama juga, tahun 1662 John Graunt mulai menerbitkan karya miliknya yaitu Observation on the bills of mortality. John Graunt merupakan orang pertama yang menyingkat data ke dalam tabel. Dia juga membicarakan tentang reliabilitas data. John Graunt pula orang pertama yang mendemonstrasikan secara statistik bahwa jumlah dari pria dan wanita mendekati sama dan perbandingan jenis kelamin pada saat kelahiran stabil. Dia adalah orang pertama yang membentuk tabel hidup, yang membentuk kajian tentang asuransi jiwa secara matematik. Dari data yang terkumpul tersebut juga memicu lahirnya teknik pentabelan yang dilakukan oleh Edmon Halley pada tahun 1693. Seiring dengan perkembangan tori-teori probabilitas antara tahun 1713 – 1812, Galton yang semasa hidupnya menghasilkan 340 lebih tulisan dan buku,  mempelajari fenomena korelasi dan regresi terhadap nilai rata-rata dan nilai tengah dan menggunakan metode statistik untuk mempelajari perbedaan pada sifat manusia dan warisan kecerdasan dengan menggunakan daftar pertanyaan-pertanyaan.
Penemuan-penemuan tersebut memicu lahirnya statistika inferensial yang diawali oleh Pearson pada tahun 1900 dengan Chi Square Test. Selain Chi Square Test, dengan menggunakan korelasi dan regresi linear, Pearson membuat model 3 dimensi sebagai model pengumpulan data dalam penelitian di Departemen Sains Statistik. Selain itu juga Pearson menggunakan distribusi probabilitas sebagai dasar untuk teori statistic modern.
Seorang kimiawan muda William Gosset atau yang lebih dikenal dengan panggilan “student” menggunakan ketidak cocokan penggunaan kurva normal untuk ukuran sampel kecil. Bersama seorang professor, ia merumuskan penemuannya pada tahun 1908. Ia menyebutnya dengan distribusi “student”. Penemuannya kurang mendapat perhatian terkecuali setelah dimasukkan ke dalam buku ajar statistika modern yang pertama yang ditulis oleh Sir Ronald Fisher 20 tahun kemudian. Pada tahun 1925, Fisher mempublikasikan buku yang berjudul Statistical Methods for Research Workers. Di buku tersebut, Fisher menuliskan mengenai ANAVA.
Sekitar tahun 1943-1946 penemuan-penemuan baru muncul seperti yang diperkenalkan oleh Cramer dan M. G Kendall yang mengkaji metode non parametric dengan menggunakan statistika inferensi. Satatistika non parametric muncul karena kebutuhan berdasarkan syarat yang tidak terpenuhi oleh statistika parametric. Pada tahun 1945 Frank Wilcoxon menemukan satu uji, yang kemudian lebih dikenal dengan uji Wilcoxon.
Pada periode tahun 1950-1980 cakupan mengenai teori peluang dan statistic meningkat dengan munculnya bidang baru seperti teori antrian. William Feller mengembangkan topik-topik statistic tingkat lanjut seperti rantai markov. Pada tahun 1950, Rudolf Carnap menerbitkan risetnya yang berjudul Logical Fondation of Probabity yang berisi derajat informasi (degree of confirmation) dan frekuensi relatif. W.Edward Deming meneliti tentang kualiti control dan banyak perusahaan mengambil metode ini. Austin Bradford Hill mengembangkan statistik pada bidang kesehatan dan epidemiologi. Bradford mempelopori trial klinik random dan mendemonstrasikan hubungan antara kebiasaan merokok dengan penyakit kangker paru-paru. Quetelet mengaplikasikan teori peluang pada sensus. Semenjak tahun 1970 keuangan menjadi bagian penting dari penerapan teori peluang. Ito mengembangkan kalkulus stokastik pada tahun 1940 dan diterapkan pada model Black-Scholes. Black dan Scholes memenangkan hadiah nobel pada bidang ekonomi.
Periode tahun 1980an ditandai dengan mulainya penggunaan komputer dalam mengolah data statistik, dengan menggunakan komputer kita dapat menghemat waktu dalam mengolah data statistik, dan muncul aktifitas baru yang berkenaan dengan statistic. Tabel statistik menjadi lebih mudah dihasilkan, data yang besar dapat dengan mudah dianalisis secara mendalam dan lengkap. Pada awal abad ke 20 ketika Student(1908) menulis tentang distribusi normal dan Yule (1926) tentang korelasi, mereka menggunakan sampling dan berfaedah dalam menghasilkan tabel, dengan komputer menerapkan percobaan Montecarlo menjadi mungkin. Percobaan montecarlo adalah cara standar untuk menyelidiki tingkah laku yang finit pada prosedur statistik. Semenjak tahun 1980 metode montecarlo sudah digunakan secara luas. Walker menekankan statistic pada spikologi dan pendidikan.
Demikian uraian singkat tentang sejarah Peluang dan Statistika dalam Matematika. Tulisan ini hanya memberikan gambaran secara umum tentang sejarah lahir dan berkembangnya teori peluang dan statistika beserta tokoh-tokohnya. Semoga uraian singkat ini dapat memberikan gambaran umum tentang hubungan antara peluang dan statistika. Semoga dengan mengatahui sejarah dan tokoh-tokoh yang berperan dalam mengembangan konsep peluang dan statistika dapat membangkitkan minat dan motivasi untuk mempelajari dan mengembangkan teori peluang dan statistika ini

Tokoh Matematika

1.      PYTHAGORAS

“Apabila bilangan mengatur alam semesta, Bilangan adalah kuasa yang diberikan kepada kita guna mendapatkan mahkota, untuk itu kita menguasai bilangan.
If “Number rules the universe, Number is merely our delegate to the throne, for we rule Number.”
Pythagoras


Pythagoras
(580 - 475 SM)
Matematikawan yang namanya terkenal karena teorema mengenai segitiga siku-siku ini memulai pengembaraannya setelah mendapat anjuran Thales, matematikawan dari Miletus. Pengembaraan Pythagoras untuk mengembangkan matematika mengantarkan ia pada para pendeta Zoroaster yang memilihara pengetahuan matematika Mesopotamia di bawah kerajaan Persia.
Seusai dari pengembaraannya, Pythagoras mendirikan perguruan yang mendalami agama dan matematika di Krotona, kota koloni Yunani. Salah satu ajaran dari perguruan ini adalah tidak membubuhkan nama sendiri pada setiap tulisan tetapi nama persaudaraan Pythagoras. Hasil yang paaling diingat dari perguruan ini adalah teorema Pythagoras yang menyatakan kuadrat sisi miring pada segitiga siku-siku merupakan penjumlahan dari kuadrat dua sisi lainnya
Masa kecil
Pythagoras lahir di pulau Samos, Yunani selatan sekitar 580 SM (Sebelum Masehi). Dia sering melakukan perjalanan ke Babylon, Mesir dan diperkirakan pernah sampai di India. Di Babylon, teristimewa, Pythagoras menjalin hubungan dengan ahli-ahli matematika. Setelah lama menjelajah pulau kecil, Pythagoras meninggalkan tanah kelahirannya dan pindah ke Crotona, Italia. Diperkirakan Pythagoras sudah melihat 7 keajaiban dunia (kuno), dimana salah satunya adalah kuil Hera yang terletak di kota kelahirannya. Sekarang, kuil Hera sudah runtuh dan hanya tersisa 1 pilar yang tidak jauh dari kota Pythagorian (namanya dipakai untuk mengenang putra terbaiknya). Menyeberangi selat dan beberapa mil ke utara adalah Turki, terdapat keajaiban lain yaitu: Ephesus.
Pythagoras adalah anak Mnesarchus, seorang pedagang yang berasal dari Tyre. Pada usia 18 tahun dia bertemu dengan Thales. Thales, seorang kakek tua, mengenalkan matematika kepada Pythagoras lewat muridnya yang bernama Anaximander, namun yang diakui oleh Pythagoras sebagai guru adalah Pherekydes.
Pythagoras meninggalkan Samos pada tahun 518 SM. Tidak lama kemudian dia membuka sekolah di Croton yang menerima murid tanpa membedakan jenis kelamin. Sekolah itu menjadi sangat terkenal bahkan Pythagoras akhirnya menikah dengan salah satu muridnya. Gambaran rinci tentang Pythagoras tidak terlalu jelas. Dikatakan setelah itu, dia pergi ke Delos pada tahun 513 SM untuk merawat penolong sekaligus gurunya, Pherekydes. Pythagoras menetap di sana sampai dia meninggal pada tahun 475 SM. Sepeninggalnya, sekolah Croton berjalan terseok-seok dan banyak konflik internal, tetapi dapat terus berjalan sampai 500 SM sebelum menjadi alat politik.
Bagaimana Pythagoras menciptakan kultus terhadap angka?
Angka adalah “dewa”
Matematika dan “mitos-mitos” palsu tentang angka tidak dapat dipisahkan. Setiap angka adalah simbol atau melambangkan sesuatu yang terkait dengan metafisik adalah hal lumrah di Cina. Pythagoras pun tidak luput dari “perangkap” mitos tentang angka. Dia mengajarkan bahwa: angka satu untuk alasan, angka dua untuk opini, angka tiga untuk potensi, angka empat untuk keadilan, angka lima untuk perkawinan, angka tujuh untuk rahasia agar selalu sehat, angka delapan adalah rahasia perkawinan. Angka genap adalah wanita dan angka ganjil/gasal adalah pria. “Berkatilah kami, angka dewa,” adalah kutipan dari para pengikut Pythagoras yang memberi perlakuan khusus terhadap angka empat,”yang menciptakan dewa-dewa dan manusia, O tetraktys suci yang mengandung akar dan sumber penciptaan yang berasal dari luar manusia.
Pemujaan angka seperti layaknya tukang sihir dengan bola kristalnya barangkali – di kemudian hari, mendasari para matematikawan setelah Pythagoras. Ucapan Plato “Tuhan memahami geometri” atau kutipan Galileo “Buku terbesar tentang alam ditulis dengan simbol-simbol matematika.” Apakah itu termasuk ilmu sihir atau matematika. Yang jelas matematika lebih sulit untuk dipahami.
Hubungan matematika dengan musik dekat sekali. Tidaklah mengherankan apabila Pythagoras juga mampu menjadi seorang musisi. Mitos bilangan Pythagoras terkandung lewat “keajabiban” pentagram. Bentuk segi-lima yang makin lama makin kecil sampai takterhingga.
Pythagoras sebagai pemusik
Pythagoras juga dikenal sebagai musisi berbakat, seorang pemain lira. Penemuan musik terkait dengan matematika diawali ketika Pythagoras bermain monokord, sebuah kotak dengan bentangan tali-tali di atas salah satu sisinya. Dengan menggerakkan jari naik dan turun pada garis-garis yang sengaja dibuat, Pythagoras mengenali bahwa suara yang dihasilkan dapat diperkirakan. Ketika bagian tengah ditekan, setiap bagian atas tali dan bawah tali menghasilkan nada sama: nada yang tepat 1 oktaf * lebih tinggi dibandingkan apabila monokord tidak ditekan. Dengan membagi monokord dengan nisbah 3/4 dan 2/5, ternyata setiap nisbah menghasilkan nada yang berbeda, merdu atau fals. Baginya, harmoni musik adalah aktivitas matematika. Harmoni dari monokord adalah harmoni matematika – dan harmoni alam semesta. Pythagoras menyimpulkan bahwa nisbah tidak hanya berlaku pada musik tetapi juga pada pelbagai jenis keindahan lain. Para pengikut Pythagoras menyimpulkan bahwa nisbah dan proporsi mengendalikan keindahan musik, kecantikan fisik dan keanggunan matematika.
Contoh: sebuah tali panjang yang menghasilkan nada C, kemudian 16/15 dari panjang tali C menghasilkan notasi B; 6/5 panjang tali C menghasilkan notasi A, 4/3 panjang tali C menghasilkan notasi G; 3/2 panjang tali C menghasilkan notasi F; 8/5 panjang tali C menghasilkan notasi E; 16/9 panjang tali C menghasilkan notasi D dan 2/1 panjang tali C menghasilkan notasi C rendah.
Penelitian tentang suara mencapai puncaknya pada abad 19 setelah John Fourier mampu membuktikan bahwa semua suara ,  instrumental maupun vokal dapat dijabarkan dengan matematika, yaitu jumlah fungsi-fungsi Sinus sederhana. Menurutnya, suara mempunyai 3 kategori – pitch, loudness dan quality. Penemuan Fourier ini memungkinkan ketiga kategori tersebut digambar dan dibedakan. Pitch terkait dengan frekuensi kurva, loudness terkait dengan amplitudu dan quality terkait dengan bentuk dari fungsi periodik. Lewat motto “Angka adalah dewa”, Pythagoras mampu menggalang sejumlah pengikut.

Para pengikut Pythagoras (Pythagorean)
Pythagoras barangkali dapat disebut sebagai pemikir new ages pada jamannya. Dia juga seorang orator ulung, intelektual terkenal sekaligus guru yang kharismatik. Semua itu membuat banyak orang ingin belajar darinya. Tidaklah mengherankan apabila tidak lama kemudian dia mempunyai banyak pengikut dan disusul dengan mendirikan sekolah.
Falsafah dasar yang paling penting bagi Pythagoras adalah: angka. Yunani mewarisi pemahaman tentang angka dari geometrik Mesir. Hasilnya, ahli matematika Yunani tidak dapat membedakan antara bentuk (shapes) dengan bilangan (numbers). Pada saat ini untuk membuktikan theorema matematika biasa digunakan gambar-gambar yang digambar dengan menggunakan sejenis penggaris yang terbuat dari logam atau batu dan kompas.
Nisbah-nisbah adalah kunci untuk memahami alam, Pythagorean dan matematikawan lebih modern menghabiskan banyak energi dengan menggali lebih dalam teori-teori mereka. Akhirnya mereka memilah proporsi ke dalam sepuluh kategori berbeda yang disebut dengan titik tengah harmonis (harmonic means). Salah satu dari titik tengah ini mengandung angka paling “cantik” di dunia: nisbah emas (golden ratio). Tidak ada yang istimewa dari nisbah emas ini, tetapi sesuatu yang terinspirasi oleh nisbah emas tampaknya merupakan obyek-obyek yang sangat indah. Bahkan sampai saat ini, artis dan arsitek secara intuitif mengetahui bahwa obyek-obyek yang mengandung nisbah emas nampak artistik. Dan nisbah ini mempengaruhi banyak pekerjaan pada bidang seni dan arsitektur. Parthenon, kuil Athena terbesar, dibangun dengan kaidah nisbah emas ada pada setiap aspek kontruksinya. Dalam pikiran Pythagorean, nisbah mengendalikan alam semesta dan berarti sahih bagi seluruh dunia Barat pula.
Cacat pada doktrin Pythagorean
Angka nol tidak mendapat tempat dalam kerangka kerja Pythagorean. Angka nol tidak ada atau tidak dikenal dalam kamus Yunani. Menggunakan angka nol dalam suatu nisbah tampaknya melanggar hukum alam. Suatu nisbah menjadi tidak ada artinya karena “campur tangan” angka nol. Angka nol dibagi suatu angka atau bilangan dapat menghancurkan logika. Nol membuat “lubang” pada kaidah alam semesta versi Pythagorean, untuk alasan inilah kehadiran angka nol tidak dapat ditolerir. Pythagorean juga tidak dapat memecahkan “problem” dari konsep matematika – bilangan irrasional, yang sebenarnya juga merupakan produk sampingan (by product) rumus: a² + b² = c². Konsep ini juga menyerang sudut pandang mereka, namun dengan semangat persaudaraan tetap dijaga sebagai sebuah rahasia. Rahasia ini harus tetap dijaga jangan sampai bocor atau kultus mereka hancur. Mereka tidak mengetahui bahwa bilangan irrasional adalah “bom waktu” bagi kerangka berpikir matematikawan Yunani.
Nisbah antara dua angka tidak lebih dari membandingkan dua garis dengan panjang berbeda. Anggapan dasar Pythagorean adalah segala sesuatu yang masuk akal dalam alam semesta berkaitan dengan kerapian (neatness), proporsi tanpa cacat atau rasional. Nisbah ditulis dalam bentuk a/b bilangan utuh, seperti: 1, 2 atau 17, dimana b tidak boleh sama dengan nol karena dengan itu akan menimbulkan bencana. Tidak perlu dijelaskan lagi, alam semesta tidak sesuai dengan kaidah tersebut. Banyak angka tidak dapat dinyatakan semudah itu ke dalam nisbah a/b. Kehadiran angka irrasional tidak dapat dihindari lagi adalah konsekuensi matematikawan Yunani.
Persegi panjang adalah bentuk paling sederhana dalam geometri, tetapi dibaliknya terkandung bilangan irrasional. Apabila anda membuat garis diagonal pada persegi panjang – muncul irrasional, dan kelak besarnya ditentukan oleh akar bilangan. Bilangan irrasional terjadi dan akan selalu terjadi pada semua bentuk geometri. Contoh lain, segi tiga siku-siku dengan panjang kedua sisi adalah satu, dapat dihitung panjang sisi lain – dengan rumus Pythagoras, yaitu: v2. Sangatlah sulit menyembunyikan hal ini bagi orang yang paham geometri dan nisbah.
Hippasus menyangkal
Rahasia ini akhirnya dibocorkan oleh seorang pengikut Pythagorean yang merasa bahwa dia harus mengungkapkan kebenaran. Hippasus adalah matematikawan yang menjadi murid sekaligus pengikut Pythagoras. Hippasus berasal dari Metapontan. Pengungkapan rahasia membuat dia dijatuhi hukuman mati. Cerita tentang bagaimana meninggalnya Hipassus ada berbagai versi. Beberapa mengatakan bahwa Hippasus ditenggelamkan di laut, sebagai konsekuensi menghancurkan teori indah dengan fakta-fakta menyesatkan. Sumber lain menyebutkan bahwa para pengikut Pythagoras mengubur dia hidup-hidup. Lainnya menyebutkan bahwa Hippasus, dibuang atau diasingkan dalam ruangan tertutup tanpa pernah bertemu orang lagi.
Tanpa usaha mengklarifikasikan mana yang benar, namun yang jelas pengungkapan oleh Hippasus ini mengoncangkan fondasi-fondasi doktrin Pythagoras. Dalam hal ini Pythagorean menanggap bahwa bilangan irrasional hanya sebagai suatu perkecualian. Mereka tidak dapat membuktikan bahwa bilangan irrasional mencemari pandangan mereka tentang alam semesta.
Meninggalnya Pythagoras
Para pengikut Pythagoras menyatakan bahwa guru mereka meninggal dengan cara yang unik. Beberapa dari mereka menyatakan Pythagoras mogok makan, sebagian lagi menyatakan bahwa dia mengurung dan berdiam diri. Cerita lain menyatakan bahwa konon rumahnya dibakar oleh para musuhnya (mereka yang merasa tersingkirkan oleh kehadiran Pythagoras di tempat itu). Semua pengikutnya ke luar dari rumah terbakar dan lagi ke segala penjuru untuk menyelamatkan diri. Massa yang membakar rumah itu kemudian membantai para pengikutnya (pythagorean) satu per satu. Persaudaraan sudah dihancurkan. Pythagoras sendiri berusaha melarikan diri tetapi tertangkap dan dipukuli. Dia disuruh berlari di suatu ladang, namun mengatakan bahwa dia lebih baik mati. Kemudian diambil keputusan bersama dan diputuskan: Pythagoras dihukum pancung di muka umum.
Meskipun persaudaraan sudah bubar dan pemimpinnya terbunuh, esensi ajaran Pythagoras terus bertahan sampai sekarang. Falsafah Barat banyak dipengaruhi oleh pemikiran Pythagoras – seperti halnya doktrin Aristoteles, ternyata mampu bertahan hampir 2 milenium. Angka nol dan bilangan irrasional bertentangan dengan doktrin tersebut, tetapi memberi landasan bagi para matematikawan berikutnya agar memperhatikan angka nol dan bilangan irrasional.
*) Oktaf artinya 8 yaitu: nada dari 1(do) sampai 1 (do tinggi) atau dari C sampai C lagi
Sumbangsih
Penemuan Pythagoras dalam bidang musik dan matematika tetap hidup sampai saat ini. Theorema Pythagoras tetap diajarkan di sekolah-sekolah dan digunakan untuk menghitung jarak suatu sisi segitiga. Sebelum Pythagoras belum ada pembuktian atas asumsi-asumsi. Pythagoras adalah orang pertama yang mencetuskan bahwa aksioma-aksioma, postulat-postulat perlu dijabarkan terlebih dahulu dalam mengembangkan geometri.
Manfaat ini, kelak, membuat matematika tetap dapat digunakan sebagai alat bantu dalam melakukan perhitungan terhadap pengamatan terhadap fenomena-fenomena alam, setelah melalui pengembangan dan penyempurnaan oleh para matematikawan setelah Pythagoras. Theorema Pythagoras mendasari adanya theorema Fermat (tahun 1620): xn + yn = zn yang baru dapat dibuktikan oleh Sir Andrew Wiles pada tahun 1994

Minggu, 09 Januari 2011

Tradisi Perilaku Nyontek yang Dahsyat

Menyontek atau cheating memang bukan hal baru dalam dunia pendidikan, yang biasanya dilakukan oleh seorang atau sekelompok siswa/mahasiswa pada saat menghadapi ujian (test), misalnya dengan cara melihat catatan atau melihat pekerjaan orang lain atau pada saat memenuhi tugas pembuatan makalah (skripsi) dengan cara menjiplak karya orang lain dengan tanpa mencantumkan sumbernya (plagiat). Menurut Wikipedia cheating merupakan tindakan bohong, curang, penipuan guna memperoleh keuntungan teretentu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Meski tidak ditunjang dengan bukti empiris, banyak orang menduga bahwa maraknya korupsi di Indonesia sekarang ini memiliki korelasi dengan kebiasaan menyontek yang dilakukan oleh pelakunya pada saat dia mengikuti pendidikan.
Sebenarnya, secara formal setiap sekolah atau institusi pendidikan lainnya pasti telah memiliki aturan baku yang melarang para siswanya untuk melakukan tindakan nyontek. Namun kadang kala dalam prakteknya sangat sulit untuk menegakkan aturan yang satu ini. Pemberian sanksi atas tindakan nyontek yang tidak tegas dan konsisten merupakan salah satu faktor maraknya perilaku nyontek.
Tindakan nyontek (plagiasi) semakin subur dengan hadirnya internet, ketika siswa atau mahasiswa diberi tugas oleh guru atau dosen untuk membuat makalah banyak yang meng-copy- paste berbagai tulisan yang ada dalam internet secara bulat-bulat. Mungkin masih agak lumayan kalau tulisan yang di-copy-paste-nya itu dipahami terlebih dahulu isinya, seringkali tulisan itu langsung diserahkan kepada guru/dosen, dengan sedikit editing menggantikan nama penulis aslinya dengan namanya sendiri.
Yang lebih mengerikan justru tindakan nyontek dilakukan secara terrencana dan konspiratif antara siswa dengan guru, tenaga kependidikan (baca: kepala sekolah, birokrat pendidikan, pengawas sekolah, dll) atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan pendidikan, seperti yang terjadi pada saat Ujian Nasional.
Jelas, hal ini merupakan tindakan amoral yang sangat luar biasa, justru dilakukan oleh orang-orang yang berlabelkan “pendidikan”. Mereka secara tidak langsung telah mengajarkan kebohongan kepada siswanya, dan telah mengingkari hakikat dari pendidikan itu sendiri. Di lain pihak, para orang tua siswa pun dan mungkin pemerintah setempat sepertinya berterima kasih dan memberikan dukungan atas “bantuan yang diberikan sekolah” kepada putera-puterinya pada saat mengisi soal-soal ujian nasional.
Sekolah-sekolah yang permisif terhadap perilaku nyontek dengan berbagai bentuknya, sudah semestinya ditandai sebagai sekolah berbahaya, karena dari sekolah-sekolah semacam inilah kelak akan lahir generasi masa depan pembohong dan penipu yang akan merugikan banyak orang.  Secara psikologis, mereka yang melakukan perilaku nyontek pada umumnya memiliki kelemahan dalam perkembangan moralnya, mereka belum memahami dan menyadari mana yang baik dan buruk dalam berperilaku. Selain itu, perilaku nyontek boleh jadi disebabkan pula oleh kurangnya harga diri dan rasa percaya diri (ego weakness). Padahal kedua aspek psikologi inilah yang justru lebih penting dan harus dikembangkan melalui pendidikan untuk kepentingan keberhasilan masa depan siswanya. Akhirnya, apa pun alasannya perilaku nyontek khususnya yang terjadi pada saat Ujian Nasional harus dihentikan.


Buat tmn2,,,
yooooooCk qt sm2 perangi yang namanya nyontek sehingga kita tau bagaimana kemampuan kita dalam menguasai atau memahami sesuatu.......

BISA gak ya,,,,,,,,,,,,,,,,,,,?????
Hanya Qt yang tau jwbn_a

Stress yang selalu IKut dalam diri qt

Dikit- dikit sTreSsssssssssssssssssssss,,,,,,
ne Cara mengelola Stress bt kamu-kamu yang slalu dihantui sTresss
nE awal crt_a kita mulai

           Pada umumnya, pelaksanaan tugas selalu mengandung permasalahan dan tantangan. Masalah dan tantangan ini seringkali menimbulkan stres yang bisa mengganggu pencapaian tujuan.  Stres adalah suatu kondisi tegangan (tension) baik secara faal maupun psikologis yang diakibatkan oleh tuntutan dari lingkungan yang dipersepsi sebagai ancaman.  Stres merupakan bagian dari kondisi manusiawi. Dalam batas tertentu, stres membantu kita agar tetap termotivasi (eustres). Tetapi kadang-kadang kita terlalu banyak mendapatkan stres sehingga menurunkan kualitas kinerja kita (distres). Oleh karena itu, kita perlu memiliki kemampuan mengelola stres.
Untuk bisa mengelola stres, maka langkah yang  harus kita lakukan adalah: mengenali gejala-gejala stres, memahami faktor-faktor penyebab stres, dan melatih diri melakukan mekanisme penanganannya (coping mechanism).
A. Gejala-gejala Stres
Stres mempengaruhi seluruh diri kita. Kondisi stres dapat diamati dari gejala-gejalanya, baik gejala emosional/kognitif maupun gejala fisik. Jika kita dapat menandai gejala-gejalanya, maka kita akan dapat mengelolanya.
Seseorang yang stres tidak berarti harus memiliki/menampakkan seluruh gejala ini, bahkan satu gejala pun sudah bisa kita curigai sebagai pertanda bahwa seseorang mengalami stres. Namun kita juga perlu menyadari bahwa gejala-gejala ini bisa juga merupakan indikator dari masalah lain, misalnya karena memang benar ada gangguan kesehatan secara fisik.
Tabel berikut menggambarkan gejala-gejala stres:
Gejala Emosional/Kognitif
Gejala Fisik
  • Mudah merasa ingin marah
  • Merasa putus asa saat harus menunggu sesuatu
  • Merasa gelisah
  • Tidak dapat berkonsentrasi
  • Sulit berkonsentrasi
  • Jadi mudah bingung
  • Bermasalah dengan ingatan (mudah lupa, susah mengingat)
  • Setiap saat memikirkan hal-hal negatif
  • Berpikir negatif tentang diri sendiri
  • Mood naik turun (mood mudah berubah-ubah, misalnya merasa gembira tapi tak lama kemudian merasa bosan dan ingin marah)
  • Makan terlalu banyak
  • Makan padahal tidak lapar
  • Merasa tidak memiliki cukup energi untuk menyelesaikan sesuatu
  • Merasa tidak  mampu mengatasi masalah
  • Sulit membuat keputusan
  • Emosi suka meluap-luap (baik gembira, sedih, marah, dan sebagai- nya)
  • Biasanya merasa marah dan bosan
  • Kurang memiliki sense of humor
  • Otot-otot tegang
  • Sakit punggung bagian bawah
  • Sakit di bahu atau leher
  • Sakit dada
  • Sakit perut
  • Kram otot
  • Iritasi atau ruam kulit yang tidak dapat dijelaskan kategorinya
  • Denyut jantung cepat
  • Telapak tangan berkeringat
  • Berkeringat padahal tidak melakukan aktivitas fisik
  • Perut terasa bergejolak
  • Gangguan pencernaan dan cegukan
  • Diare
  • Tidak dapat tidur atau tidur berlebihan
  • Napas pendek
  • Menahan napas
B. Faktor-Faktor Penyebab Stres
Secara umum, faktor penyebab stres meliputi:
1. Ancaman.
Persepsi tentang adanya ancaman membuat seseorang merasa stres, baik ancaman fisik, sosial, finansial, maupun ancaman lainnya. Keadaan akan menjadi buruk bila orang yang mempersepsikan tentang adanya ancaman ini merasa bahwa dirinya tidak dapat melakukan tindakan apa pun yang akan bisa mengurangi ancaman tersebut.
2. Ketakutan
Ancaman bisa menimbulkan ketakutan. Ketakutan membuat orang membayangkan akan terjadinya akibat yang tidak menyenangkan, dan hal ini membuat orang menjadi stres.
3. Ketidakpastian
Saat kita merasa tidak yakin tentang sesuatu, maka kita akan sulit membuat prediksi. Akibatnya kita merasa tidak akan dapat mengendalikan situasi. Perasaan tidak mampu mengendalikan situasi akan menimbulkan ketakutan. Rasa takut menyebabkan kita merasa stres.
4. Disonansi kognitif
Bila ada kesenjangan antara apa yang kita lakukan dengan apa yang kita pikirkan, maka dikatakan bahwa kita mengalami disonansi kognitif, dan hal ini akan dirasakan sebagai stres. Sebagai contoh, bila kita merasa bahwa kita adalah orang yang baik, namun ternyata menyakiti hati orang lain, maka kita akan mengalami disonansi dan merasa stres. Disonansi kognitif juga terjadi bila kita tidak dapat menjaga komitmen. Kita yakin bahwa diri kita jujur dan tepat janji, namun adakalanya situasi/lingkungan tidak mendukung kita untuk jujur atau tepat janji. Hal ini akan membuat kita merasa stres karena kita terancam dengan sebutan tidak jujur atau tidak mampu menepati janji.
Faktor lain yang bisa menimbulkan stres adalah kehidupan sehari-hari, seperti:
  1. Kematian, baik kematian pasangan, keluarga, maupun teman
  2. Kesehatan: kecelakaan, sakit, kehamilan
  3. Kejahatan: penganiayaan seksual, perampokan, pencurian, pencopetan.
  4. Penganiayaan diri: penyalahgunaan obat, alkoholisme, melukai diri sendiri
  5. Perubahan keluarga: perpisahan, perceraian, kelahiran bayi, perkawinan.
  6. Masalah seksual
  7. Pertentangan pendapat: dengan pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, pimpinan
  8. Perubahan fisik: kurang tidur, jadual kerja baru.
  9. Tempat baru: berlibur, pindah rumah
  10. Keuangan: kekurangan uang, memiliki uang, menginvestasikan uang.
  11. Perubahan lingkungan: di sekolah, di rumah, di tempat kerja, di kota, masuk penjara.
  12. Peningkatan tanggung jawab: adanya tanggungan baru, pekerjaan baru.
Di tempat kerja, selain faktor penyebab yang bersifat umum di atas, ada 6 (enam) kelompok faktor utama penyebab stres, yaitu:
  1. Tuntutan tugas
  2. Pengendalian terhadap pegawai, yang berhubungan dengan bagaimana para pegawai melaksanakan pekerjaannya
  3. Dukungan yang didapatkan dari rekan kerja dan pimpinan
  4. Hubungan dengan rekan kerja
  5. Pemahaman pegawai tentang peran dan tanggung jawab
  6. Seberapa jauh instansi tempat bekerja berunding dengan pegawai baru.
C. Reaksi Adaptasi Terhadap Stres
Seberapa banyak, lama, dan berat keberadaan gejala-gejala stres menggambarkan pada tahap mana reaksi seseorang terhadap stres yang dialaminya. Menurut Hans Selye (1974), ada 3 tahap reaksi adaptasi seseorang terhadap stres, yaitu:
  • Tahap 1: Alarm Reaction. Gejala muncul sebagai respons permulaan terhadap adanya stres, misalnya karena harus menyusun Persiapan Mengajar Harian, seorang guru baru mendadak sakit perut/mulas-mulas.
  • Tahap 2: Resistance. Seseorang yang sudah terbiasa menghadapi stres pada akhirnya akan lebih tahan (resisten) terhadap stres. Pada tahap ini, seseorang menemukan adaptasi yang baik terhadap situasi yang menimbulkan stres, sehingga alarm reaction menurun. Namun adakalanya pada tahap ini timbul diseases of adaptation, yaitu suatu keadaan dimana seolah-olah seseorang sudah beradaptasi dengan situasi yang menimbulkan stres, padahal sebenarnya adaptasinya tidak tepat sehingga timbul penyakit-penyakit seperti darah tinggi, maag, eksem, dan sebagainya.
  • Tahap 3: Exhaustion. Tahap ini adalah suatu keadaan dimana seseorang benar-benar sakit, yang terjadi bila stres terus menerus dialami dan orang tersebut tidak dapat mengatasinya. Pada tahap ini gejala sudah lebih berat, misalnya seseorang menjadi benar-benar putus asa, mengalami halusinasi, delusi, dan bahkan kematian.
D. Mengelola Stres
Manusia adalah makhluk kompleks yang berada dalam kehidupan yang kompleks pula. Kompleksitas kehidupan berpotensi menimbulkan stres, dan  menuntut seseorang untuk mengatasinya.  Cara seseorang mengatasi stres dapat dikelompokkan menjadi dua kategori.
Pertama, cara ini merupakan cara yang spontan dan tidak disadari, dimana pengelolaan stres berpusat pada emosi yang dirasakan. Dalam istilah psikologi diklasifikasikan sebagai defense mechanism. Beberapa perilaku yang tergolong kedalam kelompok ini adalah:
  1. Acting out, yaitu menampilkan tindakan yang justru tidak mengatasi masalah. Perilaku ini lebih sering terjadi pada orang yang kurang mampu mengendalikan/menguasai diri, misalnya merusak barang-barang di sekitarnya.
  2. Denial, yaitu menolak mengakui keadaan yang sebenarnya. Hal ini bisa bermakna positif, bisa pula bermakna negatif. Sebagai contoh, seseorang guru menyadari bahwa dirinya memiliki kelemahan dalam berbahasa Inggris, namun ia terus berupaya untuk mempelajarinya; bisa bermakna positif bila dengan usahanya tersebut terjadi peningkatan kemampuan; bermakna negatif bila kemampuannya tidak meningkat karena memang potensinya sangat terbatas, namun ia tetap berusaha sampai mengabaikan pengembangan potensi lain yang ada dalam dirinya.
  3. Displacement, yaitu memindahkan/melampiaskan perasaan/emosi tertentu pada pihak/objek lain yang benar-benar tidak ada hubungannya namun dianggap lebih aman. Contohnya: Seorang guru merasa malu karena ditegur oleh Kepala Sekolah di depan guru-guru lain, maka ia melampiaskan perasaan kesalnya dengan cara memarahi murid-murid di kelas.
  4. Rasionalisasi, yaitu membuat alasan-alasan logis atas perilaku buruk. Contohnya: Seorang Kepala Sekolah yang tidak menegur guru yang membolos selama 3 hari mengatakan bahwa ia tidak menegur guru tersebut karena pada saat itu ia sedang mengikuti pelatihan untuk kepala sekolah di ibukota provinsi.
Kedua, cara yang disadari, yang disebut sebagai direct coping, yaitu seseorang secara sadar melakukan upaya untuk mengatasi stres. Jadi pengelolaan stres dipusatkan pada masalah yang menimbulkan stres. Ada dua strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi stres, yaitu:
  1. Meningkatkan toleransi terhadap stres, dengan cara meningkatkan keterampilan/kemampuan diri sendiri, baik secara fisik maupun psikis, misalnya, Secara psikis: menyadarkan diri sendiri bahwa stres memang selalu ada dalam setiap aspek kehidupan dan dialami oleh setiap orang, walaupun dalam bentuk dan intensitas yang berbeda. Secara fisik: mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup gizi, menonton acara-acara hiburan di televisi, berolahraga secara teratur, melakukan tai chi, yoga, relaksasi otot, dan sebagainya.
  2. Mengenal dan mengubah sumber stres, yang dapat dilakukan dengan tiga macam pendekatan, yaitu:  (a) bersikap asertif, yaitu berusaha mengetahui, menganalisis, dan mengubah sumber stres. Misalnya: bila ditegur pimpinan, maka respon yang ditampilkan bukan marah, melainkan menganalisis mengapa sampai ditegur; (b)  menarik diri/menghindar dari sumber stres. Tindakan ini biasanya dilakukan bila sumber stres tidak dapat diatasi dengan baik. Namun cara ini sebaiknya tidak dipilih karena akan menghambat pengembangan diri. Kalaupun dipilih, lebih bersifat sementara, sebagai masa penangguhan sebelum mengambil keputusan pemecahan masalah; dan (c) kompromi, yang bisa dilakukan dengan konformitas (mengikuti tuntutan sumber stres, pasrah) atau negosiasi (sampai batas tertentu menurunkan intensitas sumber stres dan meningkatkan toleransi terhadap stres)

Ingin Tau Cara Memahami Emosi Orang Laen,,, ayo baca blog ne.....@@@@@

Pertama yang akan wi jelaskan mengenai emosi dalah pengertian,,, 
ayoooooo................@@@
ikt selanjutnya cerita tentang EMOSI
Semoga Bermanfaat
 
1. Pengertian Emosi
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih beragam dalam memberikan rumusan tentang emosi dengan orientasi teoritis yang bervariasi pula. Kita mencatat beberapa beberapa teori tentang emosi dengan sudut pandang yang berbeda, diantaranya: teori Somatic dari William James, teori Cannon-Bard, teori Kogntif Singer-Schachter, teori neurobiological dan teori evolusioner Darwin. Perbedaan kerangka teori inilah yang menyebabkan kesulitan tersendiri untuk merumuskan tentang emosi secara tunggal dan universal.
Terdapat sekitar 550 sampai 600 kata dalam bahasa Inggris yang memiliki makna yang sama dengan kata emosi, baik itu dalam bentuk kata kerja, kata benda, kata sifat, dan kata keterangan (Averil, 1975; Johnson Laird & Oatley, 1989; Storm & Storm, 1987). Meski tidak didapati rumusan emosi yang bersifat tunggal dan universal, tetapi tampaknya masih bisa ditemukan persesuaian umum bahwa keadaan emosional merupakan satu reaksi kompleks yang berkaitan dengan kegiatan dan perubahan-perubahan secara mendalam yang dibarengi dengan perasaan kuat atau disertai dengan keadaan afektif (J.P.Chaplin. 2005). English and English (Syamsu Yusuf, 2003) menyebut emosi ini sebagai “A complex feeling state accompanied by characteristic motor and grandular activities”. Menurut Abin Syamsuddin Makmun (2003) bahwa aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu: (1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); (2) perubahan–perubahan fisiologis yang terjadi pada individu; dan (3) pola sambutan. Dalam situasi tertentu, pola sambutan yang berkaitan dengan emosi seringkali organisasinya bersifat kacau dan mengganggu, kehilangan arah dan tujuan. Berkenaan dengan perubahan jasmaniah yang terjadi terkait dengan emosi seseorang, Syamsu Yusuf (2003) memberikan penjelasan sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
    Terpesona Reaksi elektris pada kulit
    Marah Peredaran darah bertambah cepat
    Terkejut Denyut jantung bertambah cepat
    Kecewa Bernafas panjang
    Sakit marah Pupil mata membesar
    Cemas Air liur mengering
    Takut Berdiri bulu roma
    Tegang Terganggu pencernaan, otot tegang dan bergetar.
Selanjutnya, dia mengemukakan pula tentang ciri-ciri emosi, yaitu: (1) lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnnya seperti pengamatan dan berfikir; (2) bersifat fluktuatif atau tidak tetap, dan (3) banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera dan subyektif. Lebih jauh, Nana Syaodih Sukmadinata (2005) mengemukakan empat ciri emosi, yaitu:
  1. Pengalaman emosional bersifat pribadi dan subyektif. Pengalaman seseorang memegang peranan penting dalam pertumbuhan rasa takut, sayang dan jenis-jenis emosi lainnya. Pengalaman emosional ini kadang–kadang berlangsung tanpa disadari dan tidak dimengerti oleh yang bersangkutan kenapa ia merasa takut pada sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu ditakuti. Lebih bersifat subyektif dari peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berfikir (Syamsu Yusuf, 2003)
  2. Adanya perubahan aspek jasmaniah. Pada waktu individu menghayati suatu emosi, maka terjadi perubahan pada aspek jasmaniah. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu terjadi serempak, mungkin yang satu mengikuti yang lainnya. Seseorang jika marah maka perubahan yang paling kuat terjadi debar jantungnya, sedang yang lain adalah pada pernafasannya, dan sebagainya.
  3. Emosi diekspresikan dalam perilaku. Emosi yang dihayati oleh seseorang diekspresikan dalam perilakunya, terutama dalam ekspresi roman muka dan suara/bahasa. Ekspresi emosi ini juga dipengaruhi oleh pengalaman, belajar dan kematangan.
  4. Emosi sebagai motif. Motif merupakan suatu tenaga yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan. Demikian juga dengan emosi, dapat mendorong sesuatu kegiatan, kendati demikian diantara keduanya merupakan konsep yang berbeda. Motif atau dorongan pemunculannya berlangsung secara siklik, bergantung pada adanya perubahan dalam irama psikologis, sedangkan emosi tampaknya lebih bergantung pada situasi merangsang dan arti signifikansi personalnya bagi individu Menurut J.P. Chaplin (2005), motif lebih berkenaan pola habitual yang otomatis dari pemuasan, sementara reaksi emosional tidak memiliki pola atau cara-cara kebiasaan reaktif yang siap pakai.
Di lain pihak, Fehr & Russel (1984) Shaver, Schwarts, Kirson & O’Connor (1987) menyebutkan, emosi memiliki tiga bentuk, yaitu passivity, intentionality, dan subjectivity. Passivity berasal dari kata Yunani kuno abad ke-18 yaitu “pathe”, artinya sama dengan “nafsu” atau “hasrat”. Makna dasar dari passivity adalah berubah secara drastis, terutama berubah menjadi sangat buruk. Kata “pasif” seringkali digunakan dalam menerangkan kata-kata emosi. Sehingga kata-kata semacam “jatuh cinta”, “terjebak amarah” dikonotasikan sebagai tindakan pasif. Artinya, emosi hanyalah tindakan refleks sebagai hasil pengalaman sensoris sederhana, yang berada di bawah kontrol pribadi. Padahal sejatinya, manusia hidup memiliki kontrol yang lebih tidak sekadar emosinya, sehingga emosi tidak sekadar pasif. Intentionality (kesengajaan) masih sering dikaitkan dengan “nafsu”, tapi bisa bermakna yang sama sekali berbeda dengan passivity jika diterapkan dalam pengertian sehari-hari. Intentionality maksudnya, bahwa emosi terjadi karena suatu kesengajaan. Misalnya, orang tidak marah secara tiba-tiba, tanpa sebab musabab tetapi selalu ada sesuatu yang membuat dia marah, atau takut terhadap sesuatu, senang terhadap sesuatu, dan seterusnya. Sesuatu itu adalah objek kesengajaan dari emosi, sebagai hasil dari evaluasi dari sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya. Subjectivity. Biasanya, emosi selalu dikaitkan dengan perbuatan subjektif sebagai akibat dari sebuah pengalaman diri terhadap objek eksternal. Meski demikian, emosi juga bersifat objektif, karena bisa dinilai sebagai baik atau buruk; bermanfaat atau berbahaya, bergantung kepada penilaian pribadi terhadap emosi tersebut.
Perasaan dan emosi pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda tetapi tidak bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan menjadi bagian dari emosi. Perasaan (feeling) merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat wajar dan sederhana. Demikian pula, emosi sebagai keadaan yang terangsang dari organisme namun sifatnya lebih intens dan mendalam dari perasaan. Menurut Nana Syaodih Sukadinata (2005), perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat riak air atau hembusan angin sepoy-sepoy sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka, ibarat air yang bergolak atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah yang bisa diamati. Contoh: orang merasa marah atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, dalam konteks ini, marah merupakan perasaan yang wajar, tetapi jika perasaan marahnya menjadi intens dalam bentuk angkara murka yang tidak terkendali maka perasaan marah tersebut telah beralih menjadi emosi. Orang merasa sedih karena ditinggal kekasihnya, tetapi jika kesedihannya diekspresikan secara berlebihan, misalnya dengan selalu diratapi dan bermuram durja, maka rasa sedih itu sebagai bentuk emosinya.
Perasaan dan emosi seseorang bersifat subyektif dan temporer yang muncul dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis kontinum yang bergerak dari ujung yang yang paling postif sampai dengan paling begatif, seperti: senang-tidak senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega (straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing).
Menurut Syamsu Yusuf (2003) emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: emosi sensoris dan emosi psikis. Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar. Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti : (1) perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran; (2) perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok; (3) perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral); (4) perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian; dan (5) perasaan ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan makhluk beragama (Homo Religious)
Sementara itu, Nana Syaodih Sukadinata (2005) mengetengahkan tentang macam-macam emosi individu, diantaranya: (1) takut, cemas dan khawatir. Ketiga macam emosi ini berkenaan dengan rasa terancam oleh sesuatu; (2) marah dan permusuhan, yang merupakan suatu perayaan yang dihayati seseorang atau sekelompok orang dengan kecenderungan untuk menyerang; (3) rasa bersalah dan duka, yang merupakan emosi akibat dari kegagalan atau kesalahan dalam melakukan perbuatan yang berkenaan norma; dan (4) cinta, yaitu jenis emosi yang menurut Erich Fromm berkembang dari kesadaran manusia akan keterpisahannya dengan yang lain, dan kebutuhan untuk mengatasi kecemasan karena keterpisahan tersebut.
Setiap orang memiliki pola emosional masing-masing yang berupa ciri-ciri atau karakteristik dari reaksi-reaksi perilakunya. Ada individu yang mampu menampilkan emosinya secara stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengontrol emosinya secara baik dan memiliki suasana hati yang tidak terlau variatif dan fluktuatif. Sebaliknya, ada pula individu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki stabilitas emosi, biasanya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan tidak dapat diduga-duga.
Tingkat kematangan emosi (emotional maturity) seseorang dapat ditunjukkan melalui reaksi dan kontrol emosinya yang baik dan pantas, sesuai dengan usianya. Adalah hal yang wajar bagi seorang anak kecil usia 3-5 tahun, apabila dia merasa kecewa ketika tidak dipenuhi keinginannya untuk dibelikan permen coklat atau mainan anak-anak dan kemudian mengekspresikan emosinya dengan cara menangis dan berguling-guling di lantai. Tetapi, akan menjadi hal yang berbeda, jika hal itu terjadi pada seorang remaja atau dewasa dan jika hal itu benar-benar terjadi maka jelas dia belum menunjukkan kematangan emosinya.
Sekilas telah dikemukakan di atas bahwa pola sambutan emosional seringkali organisasinya kacau-balau dan hal ini sangat tampak pada mereka yang mengalami gangguan kekacauan emosional (emotional disorder) yaitu sejenis penyakit mental dimana reaksi emosionalnya tidak tepat dan kronis serta sangat menonjol atau menguasai kepribadian yang bersangkutan. Untuk kasus-kasus kekacauan emosi yang sangat ekstrem biasanya diperlukan terapi tersendiri dengan bantuan ahli.
Karena sifatnya yang dinamis, bisa dipelajari dan lebih mudah diamati, maka para ahli dan peneliti psikologi cenderung lebih tertarik untuk mengkaji tentang emosi daripada unsur-unsur perasaan. Daniel Goleman salah seorang ahli psikologi yang banyak menggeluti tentang emosi yang kemudian melahirkan konsep Kecerdasan Emosi, yang merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain.
Sejalan dengan usianya, emosi seorang individu pun akan terus mengalami perkembangan, mulai dari. Dengan mengutip pendapat Bridges, Loree (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) menjelaskan proses perkembangan dan diferensiasi emosional pada anak-anak, sebagai berikut
    Usia
    Ciri-Ciri
    Pada saat dilahirkan
    Bayi dilengkapi kepekaan umum terhadap rangsangan – rangsangan tertentu (bunyi, cahaya, temperatur)
    0 – 3 bln
    Kesenangan dan kegembiraan mulai didefinisikan dari emosi orang tuanya
    3 – 6 bln
    Ketidaksenangan berdiferensiasi ke dalam kemarahan, kebencian dan ketakutan
    9 – 12 bln
    Kegembiraan berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
    18 bulan pertama
    Kecemburuan mulai berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
    2 th
    Kenikmatan dan keasyikan berdiferensiasi dari kesenangan
    5 th
    Ketidaksenangan berdiferensiasi di dalam rasa malu, cemas dan kecewa sedangkan kesenangan berdiferensiasi ke dalam harapan dan kasih sayang
2. Memelihara Emosi
Emosi sangat memegang peranan penting dalam kehidupan individu, akan memberi warna kepada kepribadian, aktivitas serta penampilannya dan juga akan mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mentalnya. Agar kesejahteraan dan kesehatan mental ini tetap terjaga, maka individu perlu melakukan beberapa usaha untuk memelihara emosi-emosinya yang konstruktif. Dengan merujuk pada pemikiran James C. Coleman (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005), di bawah ini dikemukakan beberapa cara untuk memelihara emosi yang konstruktif.
  1. Bangkitkan rasa humor. Yang dimaksud rasa humor disini adalah rasa senang, rasa gembira, rasa optimisme. Seseorang yang memiliki rasa humor tidak akan mudah putus asa, ia akan bisa tertawa meskipun sedang menghadapi kesulitan.
  2. Peliharalah selalu emosi-emosi yang positif, jauhkanlah emosi negatif. Dengan selalu mengusahakan munculnya emosi positif, maka sedikit sekali kemungkinan individu akan mengalami emosi negatif. Kalaupun ia menghayati emosi negatif, tetapi diusahakan yang intensitasnya rendah, sehingga masih bernilai positif.
  3. Senatiasa berorientasi kepada kenyataan. Kehidupan individu memiliki titik tolak dan sasaran yang akan dicapai. Agar tidak bersifat negatif, sebaiknya individu selalu bertolak dari kenyataan, apa yang dimiliki dan bisa dikerjakan, dan ditujukan kepada pencapaian sesuatu tujuan yang nyata juga.
  4. Kurangi dan hilangkan emosi yang negatif. Apabila individu telah terlanjur menghadapi emosi yang negatif, segeralah berupaya untuk mengurangi dan menghilangkan emosi-emosi tersebut. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui: pemahaman akan apa yang menimbulkan emosi tersebut, pengembangan pola-pola tindakan atau respons emosional, mengadakan pencurahan perasaan, dan pengikisan akan emosi-emosi yang kuat.

Kecerdasan Tunggal menuju kepada kecerdasan majemuk

Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.

Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Di Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).
Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?
Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik)!
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang pinter, maju dan berwawasan yang tinggi.